Selasa, 11 Mei 2010

Ginandjar Kartasamita


Pengangkatanya menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas menjadi pembicaraan luas. "Itu pertanda perubahan tradisi," begitu anggapan banyak pengamat ketika itu.

Seperti kita tahu, markas pengendali perencanaan pembangunan yang terletak di Jl. Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat itu selama ini memang selalu dipimpin oleh ekonom-teknokrat senior dengan gelar "Prof. Dr.", dan yang dekat dengan Prof. Widjojo Nitisastro, cikal-bakalnya Bappenas. Dan Ginandjar bukanlah ekonom. Tidak pula dikenal dekat dengan Prof. Widjojo. Ia adalah insinyur teknik kimia dan doktorandus administrasi negara yang masuk dinas militer dan kini berpangkat Marsekal Madya Udara (1994).

Dan bukan baru kali itu Ginanjar "menggeser" profesor. Ketika menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, yang digantikannya adalah Prof. Dr. Subroto.

Ginandjar lahir dari lingkungan keluarga politisi. Ayahnya, Husein Kartasasmita, sehari-hari pegawai Kementerian Pertahanan Keamanan, adalah aktivis PNI (Partai Nasional Indonesia) yang sempat menjadi anggota Parlemen hasil Pemilu 1955. Ibunya juga aktif di partai tersebut. Tapi, remaja Ginandjar, setelah tamat SMA Canisius College pada 1959, ketika negeri ini sedang menghadapi banyak kemelut politik sampai tahun-tahun berikutnya, malah memilih untuk melanjutkan pendidikan di bidang yang tak berkaitan langsung dengan politik: Teknik Kimia ITB. Bahkan setahun kemudian, ia malah menjauh dari semua gejolak yang terjadi waktu itu, paling tidak secara fisik: ia mendapat beasiswa untuk belajar di Tokyo University for Agricultural and Technology, Jepang. "Sebenarnya juga ada tawaran belajar ke Eropa, tapi saya memilih ke Jepang," katanya.

Di Jepang, Ginanjar tak cuma belajar Ilmu Kimia, tapi juga ilmu bela diri kempo, dan semangat bushido. Setelah mendapat gelar insinyur, ia kembali ke tanah air dan memulai karier dengan menjadi tentara. Dengan pangkat pertama Letnan Satu, Ginandjar bertugas di Direktorat Penelitian dan Pengembangan TNI Aangkat Udara, tahun 1965-1967. Pada tahun 1968, ketika sudah berpangkat Kapten, ia dipindahkan ke Sekretariat Negara dan menjabat Kepala Bagian Penelitian Biro Analisa dan Perundang-undangan. Tiga tahun kemudian, dipindahkan ke bagian Evaluasi Biro Kerja Sama Teknik Luar Negeri, selama setahun. Setelah itu posisi barunya adalah Kepala Bagian Antar Negara di biro yang sama, sampai 1976.

Sejak itulah tampaknya karier Ginandjar makin cerah. Pada tahun 1976 ia, yang sejak 1970 mulai belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi di Lembaga Administrasi Negara (LAN), mendapat promosi menjadi Asisten Sekretaris Negara untuk Urusan Administrasi Pemerintahan. Dua tahun di pos ini, berdasarkan Keppres 88/1978, dikukuhkan sebagai Asisten Menteri/Sekretaris Negara Urusan Administrasi Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Non-Departemen.

Di tahun 1980, studinya di LAN selesai. Sejak itu pula, ketika pemerintah membentuk Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah, ia ditunjuk menjadi salah satu anggotanya. Tiga tahun kemudian jabatannya di tim itu naik menjadi Wakil Ketua. Ketuanya adalah Mensesneg sendiri, ketika itu Sudharmono. Tugas-tugas inilah yang kemudian mengantarkannya ke kursi anggota kabinet pada tahun 1983. Pertama, ia dipercaya menjadi Menteri Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Kemudian menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, dan kini Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. Ia juga pernah diberi tugas merangkap jabatan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Ada yang bilang, Ginandjar termasuk pejabat yang dianggap berkomitmen untuk membesarkan pengusaha pribumi. Memang, ada banyak pengusaha pribumi yang relatif lebih berkembang sejak adanya Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah dan lembaga Menteri Negara Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri tersebut. Ia tak segan mamasukkan pengusaha nasional (pribumi) ke dalam proyek-proyek yang dikerjakan atau dibiayai pihak asing.

Ginanjar dikenal suka mengakui dengan terus-terang kalau tidak tahu mengenai sesuatu hal. Ketika pertama kali menghadiri sidang OPEC dua pekan setelah diangkat menjadi Mentamben, ia tak segan meminta didampingi menteri yang digantikannya, Prof. Subroto. Ketika baru diangkat jadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ka Bappenas, yang dilakukannya pertama kali adalah menemui bekas ketua Badan tersebut, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dan Prof. Dr. Saleh Afiff, untuk belajar.

Ginandjar juga dikenal sebagai pejabat yang tangkas berbicara dan pandai melobi. Ketika dalam suatu kali sidang OPEC para menteri anggotanya tak mencapai sepakat, ia mengajak mereka makan masakan Cina. Pada waktu menjadi Ketua Panitia Kerja GBHN MPR RI 1993 lalu, ia juga mengajak para anggota panitia tersebut berbuka puasa bersama di rumahnya untuk mencairkan suasana yang alot di ruang sidang.

Baru dua bulan menjadi Ketua Bappenas, Ginandjar membuat pengumuman yang mengundang reaksi para birokrat di daerah, yakni peta desa miskin. Pengumunan itu sempat diprotes sebagian gubernur dan bupati yang keberatan daerahnya dianggap daerah miskin. Tapi beberapa bulan kemudian, dibantu asistennya, Prof. Mubyarto, ia berhasil menggolkan Inpres Desa Tertinggal, yang memberikan bantuan Rp 20 juta setahun kepada setiap desa tertinggal itu. Maka reaksi para birokrat tersebut berbalik.

Di bidang kemiliteran, pada tahun 1992 Ginandjar mendapat penghargaan bintang Swa Bhuana Paksa Nararya, atas pengabdiannya di TNI AU selama 24 tahun tanpa cacat. Hadiah serupa kembali ia terima pada upacara peringatan HUT ke-50 TNI AU beberapa waktu lalu.

Menikah dengan Yultin Harlotina, Ginandjar dikaruniai 4 orang anak. Seorang di antaranya, Gita, sudah berkeluarga. Menteri yang selalu tampak segar ini memang gemar berolah raga untuk menjaga kondisi tubuhnya. Ketika menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, kalau ada di Jakarta, stafnya selalu hafal bahwa setiap hari Sabtu ia menghabiskan akhir pekannya di sekitar perairan Kepulauan Seribu untuk diving. Selain menyelam, Ginandjar juga menyukai golf. Ada cara lain, katanya, untuk menjaga kesegarannya, yaitu "falsafah tombol listrik." Artinya, dihidupkan untuk mencurahkan seluruh daya dan pikiran jika sedang menyelesaikan pekerjaan, dan dimatikan untuk dialihkan ke yang lain setelah selesai. Maksudnya, pada saat istirahat ia mengaku tak lagi memikirkan pekerjaan sama sekali.

(Sumber bahan: TEMPO, Matra, Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar